Harga minyak terus cenderung naik dari masa ke masa, sementara kebutuhan bahan bakar terutama untuk kendaraan bermotor tidak bisa dihindari. Rakyat kebanyakan langsung melemparkan keluhan, tapi tetap saja tidak dilakukan hal-hal penting yang mengarah kepada bahan bakar alternatif.
Berikut ini saya petik dari majalah intisari edisi Juli 2008 dengan judul yang sama di atas dan ditulis oleh M. Sholekhudin.
Ketika Mei 2008, harga bahan bakar minyak (BBM) kembali naik (rata-rata 28,7%), seperti biasa, perdebatan yang muncul lebih banyak soal subsidi. Tak banyak yang melihat, inilah momentum yang tepat untuk berhemat APBN lewat program nasional bahan bakar nabati (BBN).
Penggunaan BBN untuk substitusi BBM bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Rencana ini sudah didengung-dengungkan sejak dua dekade yang lalu. Hanya saja, program ini tidak kunjung terwujud sebab memang faktanya, program ini belum memenuhi syarat ekonomi. Bahasa gampangnya, harga BBN masih lebih mahal dari pada BBM. Tapi itu dulu. Sekarang, berdasarkan harga BBM terbaru, alasan itu sudah harus dikoreksi, terutama untuk bioetanol.
Sekadar kilas balik, istilah bahan bakar nabati (biofuel) bisa dipakai untuk bioetanol (bensin nabati) maupun biodiesel (solar nabati). Seperti namanya, bioetanol berarti etanol yang berasal dari bahan nabati. Dalam bahasa sehari-hari etanol ini biasa disebut sebagai alkohol. Alkohol yang dipakai sebagai bahan bakar punya tingkat kemurnian minimal 99.5%. Berbeda dengan alkohol yang biasa kita beli di apotek, yang umumnya hanya sekitar 70%. Alkohol fuel grade ini tidak dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dalam keadaan tunggal, tapi dicampurkan bensin dengan persentase tertentu, biasanya tidak lebih dari 10%. Campuran antara bensin dan alkohol ini biasa disebut gasohol, dari kata gasolin (bensin) dan alkohol.
Adapun biodiesel, sesuai dengan namanya, adalah bahan bakar diesel yang berasal dari minyak nabati. Minyak ini diolah secara khusus menjadi fatty acid methyl ester (FAME) lalu dicampur dengan solar pada persentase tertentu, seperti pada bioetanol. Campuran inilah yang digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor diesel.
Dengan melihat harga minyak bumi sekarang, program BBN semestinya memang tidak bisa ditawar lagi. Harus. Kudu. Wajib. Tidak bisa tidak. Terlebih lagi saat ini produksi minyak bumi Indonesia juga semakin turun, sementara konsumsinya terus naik. Terhitung sejak Mei 2008, Indonesia juga sudah menyatakan keluar dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Status kita saat ini bukan lagi eksportir tapi importir minyak bumi.
Lebih dari itu BBN adalah sumber energi terbarukan yang sumbernya melimpah di Indonesia. Tidak akan habis meskipun terus "ditambang". Berbeda dengan cadangan minyak bumi yang makin lama makin habis. Bahkan, menurut Alhilal Hamdi, ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, 16 tahun lagi cadangan minyak bumi kita akan habis. Saat itu era bahan bakar minyak bumi sudah berakhir. Dengan kata lain, pada masa itu tak ada pilihan lain kecuali menggunakan sumber-sumber energi terbarunya, salah satunya BBN.
Penggunaan BBN sebagai substitusi BBM sebetulnya bukan sebuah teknologi yang baru di dunia. Teknologi ini sudah dikenal sejak tahun 1920-an. Tahun 1975, Brazil, negara berkembang yang boleh dibilang setara dengan Indonesia, sudah mempopulerkan penggunaan etanol sebagai bahan bakar dalam program nasional Proalkohol. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan impor BBM. Negara ini adalah pemakai gasohol terbesar di dunia. Mereka sudah mulai menggunakannya jauh sebelum Indonesia mulai merencanakan penggunaannya.
Setelah Brazil, Amerika Serikat (AS) juga melakukan hal yang sama. Tujuannya pun sama, mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian bahan bakar fosil serta meminimalkan polusi udara. Belakangan ini AS bahkan semakin menggiatkan produksi bioetanol dalam negeri dari jagung.
Di Indonesia, penelitian Bioetanol, yang dalam hal ini dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1984. Hanya saja, saat itu bioetanol kurang dilirik karena harganya masih kalah murah dibandingkan BBM yang bersubsidi. Namun seiring dengan makin mahalnya harga BBM dan terus dikuranginya subsidi, selisih harga antara BBM dan bioetanol itupun makin lama makin kecil. Titik temunya terjadi pada saat harga minyak mentah dunia melampaui AS $ 130 per barel - yang akhirnya memaksa pemerintah ikut menaikkan harga BBM akhir Mei kemarin.
Saat ini harga bensin di tingkat konsumen Rp 6.000,- (ini bukan harga nyata, karena saat ini bensin masih disubsidi). Menurut Unggul Priyanto, Direktur Pengembangan Sumber Daya Energi BPPT, harga bensin bersubsidi ini sama dengan harga bioetanol sekarang. Artinya, secara ekonomi bioetanol saat ini sudah bisa bersaing dengan bensin. Jadi tidak ada lagi alasan program bioetanol belum layak direalisasikan karena alasan harganya masih mahal.
Jika Pertamina melakukan substitusi bensin dengan etanol, katakanlah 10%, berarti perusahaan milik negara ini akan membantu pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi. Yang tak kalah penting, pemerintah juga bisa mengurangi subsidi BBM. Dengan perhitungan matematis, menurut Unggul, berdasarkan tingkat konsumsi premium nasional sebesar 17 juta kiloliter / tahun, negara bisa menghemat Rp 5 triliun dalam setahun. Jelas ini bukan angka yang kecil.
Jika bensin disubstitusi 10% dengan etanol, Pertamina memang tidak memperoleh untung karena harganya sama dengan harga Premium yang tidak dicampur dengan etanol. Dalam hal ini yang akan diuntungkan adalah konsumen. Soalnya, walaupun harganya sama, gasohol-10 (mengandung etanol 10%) kualitasnya setara dengan Pertamax. Adanya etanol 10% di dalam bensin membuat nilai oktan naik menjadi 91. Dengan kata lain, harganya Premium, kualitasnya Pertamax. Produkl ini jelas akan lebih diminati konsumen karena membuat tarikan mesin menjadi lebih yahud. Emisinya juga menjadi lebih bersih.
Saat ini beberapa SPBU memang sudah menyediakan Biopertamax (merek dagang milik Pertamina untuk campuran bensin dan etanol). Tapi jumlah SPBU ini masih sangat sedikit. Kalau Pertamina tidak mau merugi, saran Unggul, harga gasohol-10 bisa dinaikkan sedikit untuk menutup biaya pencampuran bensin dan etanol. Dengan catatan, masyarakat perlu mendapat edukasi bahwa gasohol-10 itu setara dengan Pertamax. Unggul menjamin, konsumen pasti akan lebih suka membayar sedikit lebih mahal asalkan bisa mendapatkan kualitas Pertamax. Semua perhitungan di atas 100% perhitungan bisnis. Artinya, kalau Pertamina tidak segera melakukannya, Unggul menjamin peluang murahnya bioetanol ini akan diambil oleh perusahaan minyak swasta. "Menurut saya, hal ini sangat mungkin terjadi," katanya dengan intonasi yakin dan mantap.
Baik Alhilal maupun Unggul berpendapat bahwa program bioetanol lebih layak didahulukan daripada biodiesel. Tapi hal itu tidak berarti program biodiesel boleh diabaikan. Ini hanya perkara prioritas. Saat ini harga biodiesel masih lebih mahal daripada solar. Program bioetanol lebih siap direalisasikan dengan mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi. Biodiesel tetap harus berjalan tapi posisinya berada di belakang bioetanol. "Dimana-mana di seluruh dunia, yang berjalan duluan itu bioetanol, baru kemudian disusul biodiesel," ujar Unggul.
Pandangan ini berbeda dengan tren yang berkembang di masyarakat. Selama ini, jika bicara tentang biofuel, perhatian kita lebih tertuju kepada biodiesel dari jarak pagar. Media massa juga memberitakan biodiesel jarak lebih gencar daripada bioetanol. Akhirnya, yang ada dipikiran kita hanya jarak, jarak, dan jarak. Padahal perhitungan produksi biodiesel dari jarak masih belum benar-benar matang. Ini berbeda dengan perhitungan bioetanol yang sudah bisa dibilang lengkap. Beberapa pabrik juga sudah memproduksi bioetanol fuel grade dari tetes tebu. Penelitian BPPT tentang produksi bioetanol dari singkong yang dilakukan di Lampung juga sudah siap diaplikasikan menjadi program nasional. "Semuanya sudah siap. Tinggal menunggu kemauan," kata Alhilal. Sedangkan produksi biodiesel jarak, terutama menyangkut produktivitasnya, hingga kini masih dalam tahap penelitian. Kita belum tahu bibit jarak yang produktivitasnya paling tinggi, juga belum tahu berapa produksinya per hektar, pertahun. Harap maklum, sekalipun jarak sudah lama dikenal, kita belum punya banyak data tentang produktivitasnya dalam menghasilkan biodiesel. Jarak memang sudah lama dikenal, tapi biodiesel jarak masih baru diteliti.
Ini berbeda misalnya dengan kelapa sawit. Tanaman ini juga merupakan salah satu penghasil biodiesel yang produktivitasnya sudah diketahui. Kelapa sawit sudah lama dibudidayakan di Indonesia. Departemen Pertanian sudah mengantungi semua data tentang bibit yang unggul dan perawatan yang benar sehingga produksinya optimal. Saat ini, kata Alhilal, produksi minyak sawit (crude palm oil) Indonesia 18 juta ton se tahun sementara konsumsi nasional hanya 3,6 juta ton. Artinya, masih ada surplus sekitar 14 juta ton yang bisa dimanfaatkan untuk biodiesel. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, produksi biodiesel dari kelapa sawit justru lebih siap daripada jarak. Namun, bukan berarti jarak tidak prospektif di masa depan. Sekali lagi, bukan. Ini hanya masalah lengkap tidaknya data penelitian saat ini. Selama ini masyarakat selalu menganggap budidaya jarak itu mudah. Itu memang tidak salah. Tapi supaya jarak menghasilkan minyak dengan tingkat produktivitas yang menguntungkan, itu bukan perkara sepele. Semua harus diperhatikan, mulai dari pemilihan bibit sampai perawatan. Jadi, sekalipun persoalannya "hanya" bertanam jarak, semua kaidah ilmu pertanian tetap harus dilakukan disini. Ini yang kita belum punya data lengkap. "Singkat cerita, kita lebih tahu tentang kelapa sawit daripada jarak," tandas Unggul.
Selain alasan ekonomi, bioetanol lebih perlu didahulukan daripada biodiesel karena alasan peningkatan kualitas. Jika bensin dicampur alkohol 10%, oktannya naik sampai setara dengan Pertamax. Bahan bakar ini bisa meningkatkan performa mesin dan memperbaiki emisi. Tapi kalau solar dicampur dengan biodiesel 10%, kualitasnya boleh dibilang tidak naik signifikan. Solar ya tetap solar. Tidak ada super solar yang membuat performa mesin menjadi lebih baik seperti Pertamax.
Selain faktor kesiapan teknis, hal penting lainnya, menurut Alhilal dan Unggul adalah peraturan yang tegas dan jelas dari pemerintah. Timnas Pengembangan BBN yang dibentuk pemerintah hanya berwenang membuat strategi. Sementara aplikasinya tergantung departemen-departemen terkait, misalnya Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Pertamina. Kalau palu sudah diketok dan ada peraturan yang jelas, semua departemen terkait bisa bergerak secara serempak. Kita sudah punya UU No. 30 / 2007 tentang Energi yang memberikan amanat agar pemerintah meningkatkan energi terbarukan. Tapi undang-undang ini perlu rincian lebih jelas yang bisa dijadikan sebagai panduan bagi semua departemen terkait. Dengan adanya aturan yang mengikat dan mewajibkan penggunaannya, program BBN tetap bisa berjalan meskipun, misalnya, terjadi fluktuasi harga yang membuat BBN lebih mahal dari pada BBM. Dalam urusan ini, baik Alhilal maupun Unggul menyarankan Indonesia agar belajar dari Thailand. Negara ini termasuk salah satu negara berkembang yang serius menjalankan program BBN. Di negara ini, kementerian yang menangani masalah energi dipecah menjadi dua. Satu menangani urusan energi tidak terbarukan, satunya lagi menangani energi terbarukan, yang di antaranya adalah biofuel. Bensin di Thailand konsisten menggunakan campuran etanol 10%. Sama seperti Brazil, negara jiran kita ini bisa menjadi pembanding yang realistis karena tingkat kemajuannya relatif sama dengan Indonesia. "Kita tidak usah melihat Amerika (Serikat) atau Eropa. Terlalu jauh!!", kata Unggul.
Bahan bakar nabati adalah solusi masa depan ketika minyak bumi sudah habis. Hampir bisa dipastian harga BBM akan terus naik di waktu mendatang. Karena itu, jangan sampai kita baru serius memulai program BBN setelah harga Premium di atas Rp 10.000,-. KITA HARUS SEGERA BERALIH KE BBN. Sekaranggg!!!
***************************************************************************